Pada hari Kamis, 30 Desember 2010, kami sekelompok pergi ke pemukiman pemulung di daerah Keputih. Di sana kami merasakan bagaimana menjadi seorang pemulung yang sering kali oleh masyarakat dianggap sebagai pekerjaan yang hina.
Kami berangkat pada pukul 7 pagi. Pak Muhammad Ruas yang bersama kami dalam kegiatan mempersiapkan becak yang menjadi tempat meletakkan sampah. Kami mulai berjalan ke arah selatan, ke perumahan Keputih. Pak Ruas menjelaskan bermacam-macam sampah yang perlu untuk diambil. Sampah-sampah yang diambil antara lain sampah kertas, sampah kaca, sampah karet, dan sampah plastik.
Kami berangkat pada pukul 7 pagi. Pak Muhammad Ruas yang bersama kami dalam kegiatan mempersiapkan becak yang menjadi tempat meletakkan sampah. Kami mulai berjalan ke arah selatan, ke perumahan Keputih. Pak Ruas menjelaskan bermacam-macam sampah yang perlu untuk diambil. Sampah-sampah yang diambil antara lain sampah kertas, sampah kaca, sampah karet, dan sampah plastik.
Kami terus berjalan. Kami mulai berjumpa dengan orang. Awalnya kami merasa malu sebab kami harus mengorek-ngorek sampah, memungutnya dengan tangan dan mendorong becak tempat menampung sampah. Rasa jijik dengan sampah mulai merasuk ke hati. Namun kami terus coba untuk bertahan dari rasa malu. Pertanyaan demi pertanyaan mengalir dari warga yang melihat kami. Kami mencoba untuk menjawab mereka untuk bisa melawan rasa malu. Kami akhirnya belajar bahwa menjadi pemulung bukanlah suatu pilihan yang mudah.
Setelah sekitar 2-3 jam berjalan kami memutuskan untuk kembali ke pemukiman. Saya sempat bercerita dengan pak pemulung dan keluarganya. Ternyata kami menemukan suatu keramahan di sana. Mereka menyambut kami dengan hangat. Kami mengetahui ternyata jumlah sampah yang diperlukan untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari sangatlah banyak. Mereka memilih jalan ini sebab di kampung halamannya mereka sulit untuk mendapatkan penghasilan. Mereka ternyata memulai dengan rasa malu juga, namun mereka menyadari bahwa yang mereka lakukan itu bukanlah suatu pekerjaan yang hina.
Refleksi:
Kedatangan kami disana rupanya sangat disambut positif oleh mereka. Tanpa adanya rasa curiga atau sebagainya, mereka menyambut kami. Sepertinya mereka memang membutuhkan sapaan dari orang luar, yaitu diluar pemulung tersebut dan kami setidaknya memberikan sedikit perhatian kepada mereka yang terpinggirkan.
Kami belajar bahwa menjadi pemulung bukan merupakan hal yang mudah. Untuk memulainya diperlukan suatu mental yang kuat, tahan malu, tahan kondisi cuaca (panas) dalam bekerja. Tidak semua orang mau untuk melakukan hal-hal yang dianggap orang sebagai hal yang buruk. Padahal jika dipikirkan kembali, sebenarnya pemulung bukanlah suatu hal yang buruk. Sebagian dari mereka tetap memiliki etika dalam bekerja dan pekerjaan yang mereka lakukan halal. Mereka bukanlah orang orang semacam pencuri berdasi yang banyak ditemui di pemerintahan.
Selain itu kami menemukan bahwa mereka adalah orang yang mau untuk berusaha, meskipun usaha yang mereka lakukan adalah pemulung. Bagi saya, pemulung lebih baik daripada pengemis yang sekedar meminta uang saja. Mereka mau untuk berusaha mendapatkan uang sesuai dengan kerja yang mereka lakukan.
Kami juga belajar bahwa walaupun dengan hasil yang sedikit, mereka tetap mampu untuk bertahan hidup dan hidup dalam kegembiraan. Hal ini sangat berbeda dengan orang-orang kaya yang hidupnya malah kurang bahagia. Disini terbukti bahwa uang tidak bisa membeli kebahagiaan.
Satu hal lain yang sangat membuat kami prihatin yaitu penggunaan rokok. Pendapatan per 20 hari hanya Rp 200.000. Dalam sehari kira-kira Rp 30.000 dikeluarkan untuk hidup. Untuk belanja mereka menggunakan Rp 15.000, sedangkan sisanya untuk rokok dll. Sangat disayangkan bahwa ternyata rokok pun membuat para pemulung yang memiliki perekonomian rendah menjadi semakin miskin. Ketagihan yang ditimbulkan oleh rokok menyebabkan mereka menjadi ketergantungan terhadap rokok dan terpaksa mengurangi uang yang seharusnya dapat mereka gunakan untuk memperbaiki kualitas hidup mereka. Kiranya para pemerintah sadar, supaya rokok yang beredar di dalam negeri dibuat sedemikian rupa sehingga tidak merusak bangsanya, apalagi menyebabkan orang miskin menjadi lebih miskin lagi.
0 comments:
Post a Comment